Saturday, 10 March 2012
HUTAN (definisi dan fungsi sebagai SDA)
Oleh : Prasetyo Handrianto, S.Si.
Adopsi: Rahmawaty, S. Hut., MSi.
Universitas Sumatera Utara
DEFINISI HUTAN
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalahsuatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d. Mampu memberi manfaat secara lestari.
Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi :
a. suatu wilayah tertentu
b. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :
a. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut :
a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.
b. Hutan Lindung
c. Hutan Produksi
HUTAN SEBAGAI BAGIAN SUMBER DAYA ALAM
Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi ke dalam bentuk (Zain, 1997) :
a. lahan pertanaian
b. hutan dengan aneka ragam hasilnya
c. lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah
d. perikanan darat dan laut
e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar
f. sumber energi non-mineral seperti: panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang .
Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya.
Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia.
Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Adopsi: Rahmawaty, S. Hut., MSi.
Universitas Sumatera Utara
DEFINISI HUTAN
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalahsuatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d. Mampu memberi manfaat secara lestari.
Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi :
a. suatu wilayah tertentu
b. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :
a. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut :
a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.
b. Hutan Lindung
c. Hutan Produksi
HUTAN SEBAGAI BAGIAN SUMBER DAYA ALAM
Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi ke dalam bentuk (Zain, 1997) :
a. lahan pertanaian
b. hutan dengan aneka ragam hasilnya
c. lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah
d. perikanan darat dan laut
e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar
f. sumber energi non-mineral seperti: panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air, gelombang pasang .
Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya.
Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia.
Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Labels:
lahan hutan,
sumberdaya alam
Bioremediation of oil contaminated at soil
by: Prasetyo Handrianto, S.Si.
The exstraction and production of petroleum generate oily wastes that result from drilling, processing or accidental contamination (Chaillan et al., 2005). Such hazardous compouns include benzene, toluene, PCBs, dioxins, and nitro-aromatics (Ezezika and Singer, 2010; Kao et al., 2000) the major components of fuel oils (especially gasoline), which ar hazardous subtanced regulated by many nation. In addition to BTEX, other gasoline constituents are also toxic to humans (Kao et al., 2000).
There are many various clean-up technologies. These can be categorized in three general schimes : chemical, physical and biological (Kermanshashi et al., 2005 in Kczorec et al., 2010).
The work shows that bioremediation techniques can be an alternative solution in environments for the treatment of potensial contaminant like drill cuttings and/or (Chailalan et al., 2005) accidental oil spill on soil (Chaillan et al., 2005; Ezezika and Singer, 2010).
The efficiency of the bioremediation process is linked to the instrinsic degradability of hydrocarbon compounds (Chaillan et al., 2005) or process by which microorganism like bacteria degrade or transform hazardous organic compounds into non-tixic substance (Ezezika and Singer, 2010).
Biodegradation is one of the primary mechanism for elimination of petroleum and other hydrocarbon pollutants from the environment (calvo et al., 2008).
The purpose of the present study was to: characteristise the ancient contamination of the soil by detailed chemical analyses, assess the efficiency of bioremediation treatment during a 12 month field experiment and, quantify and remove the negative influence of factors inhibiting the biodegradation of hydrocarbon (Chaillan et al., 2005).
Bioremediation involves the acceleration of natural biodegradation process in contaminated environment. It usually consists of the application of nitrogenous and phosphorous fertilizers, adjusting the addition ofbacteria. Besides, when the pollutants have poor water solubility, addition of emulsifiers (calvo et al., 2008) and fertilizer (Pelletier et al., 2003) survace-active agents (surfactant) (kaczorek and Olszanowski., 2010; Lima et al., 2010g), bioreactor (Fulekar, 2009) enhaced the biodegradation rate by increasing the biovailabellity of the pollutant (calvo et al., 2008).
Biological treatment techniques fall into two categories, biostulation and bioaugmentation. Biostimulation refers to addition specific nutrients like with N and P (Ruberto et al., 2003) to a waste situation with the hope that the correct, naturally indigenous microbes were present in sufficient numbers and types to break down the waste effectifely. An alternative approach is to use bioaugmentation, which is the scientific approach to achieve controlled, predictable, and progrmmed biodegradation. Bioaugmentation involves the addition of specially formulated microorganism to waste situation. It is done in conjunction with the development and monitoring of an ideal growt environment, in which these selected bacteria can live and work (calvo et al., 2008).
The main objective of this article was to review the casic concept of the application of bioemulsifiers as biostimulating in oil bioremediation processes, with particular emphasis on the current knowledge of its importance in biological treatment techniques (calvo et al., 2008).
.
The exstraction and production of petroleum generate oily wastes that result from drilling, processing or accidental contamination (Chaillan et al., 2005). Such hazardous compouns include benzene, toluene, PCBs, dioxins, and nitro-aromatics (Ezezika and Singer, 2010; Kao et al., 2000) the major components of fuel oils (especially gasoline), which ar hazardous subtanced regulated by many nation. In addition to BTEX, other gasoline constituents are also toxic to humans (Kao et al., 2000).
There are many various clean-up technologies. These can be categorized in three general schimes : chemical, physical and biological (Kermanshashi et al., 2005 in Kczorec et al., 2010).
The work shows that bioremediation techniques can be an alternative solution in environments for the treatment of potensial contaminant like drill cuttings and/or (Chailalan et al., 2005) accidental oil spill on soil (Chaillan et al., 2005; Ezezika and Singer, 2010).
The efficiency of the bioremediation process is linked to the instrinsic degradability of hydrocarbon compounds (Chaillan et al., 2005) or process by which microorganism like bacteria degrade or transform hazardous organic compounds into non-tixic substance (Ezezika and Singer, 2010).
Biodegradation is one of the primary mechanism for elimination of petroleum and other hydrocarbon pollutants from the environment (calvo et al., 2008).
The purpose of the present study was to: characteristise the ancient contamination of the soil by detailed chemical analyses, assess the efficiency of bioremediation treatment during a 12 month field experiment and, quantify and remove the negative influence of factors inhibiting the biodegradation of hydrocarbon (Chaillan et al., 2005).
Bioremediation involves the acceleration of natural biodegradation process in contaminated environment. It usually consists of the application of nitrogenous and phosphorous fertilizers, adjusting the addition ofbacteria. Besides, when the pollutants have poor water solubility, addition of emulsifiers (calvo et al., 2008) and fertilizer (Pelletier et al., 2003) survace-active agents (surfactant) (kaczorek and Olszanowski., 2010; Lima et al., 2010g), bioreactor (Fulekar, 2009) enhaced the biodegradation rate by increasing the biovailabellity of the pollutant (calvo et al., 2008).
Biological treatment techniques fall into two categories, biostulation and bioaugmentation. Biostimulation refers to addition specific nutrients like with N and P (Ruberto et al., 2003) to a waste situation with the hope that the correct, naturally indigenous microbes were present in sufficient numbers and types to break down the waste effectifely. An alternative approach is to use bioaugmentation, which is the scientific approach to achieve controlled, predictable, and progrmmed biodegradation. Bioaugmentation involves the addition of specially formulated microorganism to waste situation. It is done in conjunction with the development and monitoring of an ideal growt environment, in which these selected bacteria can live and work (calvo et al., 2008).
The main objective of this article was to review the casic concept of the application of bioemulsifiers as biostimulating in oil bioremediation processes, with particular emphasis on the current knowledge of its importance in biological treatment techniques (calvo et al., 2008).
.
Labels:
bioremediation hydrocarbon soil
Peraturan tentang limbah B3 (limbah minyak bumi)
oleh: Prasetyo Handrianto. S.Si.
Ini adalah kondisi selokan tercemar minyak bumi. Limbah minyak bumi merupakan limbah B3.
Menurut UU nomor 23 tahun 2009 tentang pengelolaan limbah B3 adalah dapat dilakukan dengan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, PENGOLAHAN, dan/atau penimbunan. Lumpur minyak bumi termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), jika mengacu pada PP no. 85 tahun 1999 tentang limbah B3. Setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu pengolahan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Pencemaran minyak bumi, meskipun dengan konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah sangat mempengaruhi bau dan rasa air tanah (Atalas dan Bartha 1997 dalam Nugroho, 2006).
Bioremediasi merupakan cara yang dianggap tepat dalam menangani limbah minyak bumi ini. Beberapa alasan bahwa bioremediasi tepat dan aman adalah:
Pada tanah tercemar minyak mumi terdapat bakteri indigenous
Bakteri indigenous mempunyai potensial tertentu (ex: degradasi hidrokarbon)
Kebutuhan C pada bakteri tersebut berasal dari degradasi hidrokarbon.
Dapat dikatakan hidrokarbon sebagai sumber C pada bakteri tersebut.
Bakteri indigenous dianggap bukan bakteri pathogen
Bioremediasi secara umum digolongkan menjasi 2 yaitu bioaugmentasi (penambahan/memasukkan bakteri potensial pendegradasi minyak bumi ke tanah tercemar) dan bioaugmentasi (penambahan nutrient ex: N, P, K ke dalam tanah tercemar minyak bumi). Pada dasarnya bioremediasi adalah menggunakan agen pendegradasi yaitu bakteri meskipun tidak menutup kemungkinan jenis kapang dan yeast juga dapat mempunyai potensial pendegradasi.
Mengapa menggunakan bakteri?
• Bakteri yang dugunakan adlah bakteri hidrokarbonoklastik
• Krakteristik mikroorganisme hidrokarbonoklastik yang tidak dimiliki oleh mikroorganisme lain adalah kemampuanya mengekskresikan enzim hidroksilase, yaitu enzim pengoksidasi hidrokarbon (Nugroho, 2006).
Mengapa menambahkan nutrient?
• Tercukupinya kebutuhan nutrisi untuk perkembangbiakan bakteri ini akan menambah jumlah bakteri tersebut.
• Pertambahan jumlah dari bakteri ini akan memaksimalkan proses degradasi hidrokarbon minyak bumi
• Dengan demikian penurunan konsentrasi hidrokarbon lebih optimal
Bioremediasi merupakan solusi efektif dalam usaha menurunkan kadar TPH tanah pada tanah tercemar minyak bumi. Terbukti dengan adanya hasil penurunan TPH pada tanah.
Ini adalah kondisi selokan tercemar minyak bumi. Limbah minyak bumi merupakan limbah B3.
Menurut UU nomor 23 tahun 2009 tentang pengelolaan limbah B3 adalah dapat dilakukan dengan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, PENGOLAHAN, dan/atau penimbunan. Lumpur minyak bumi termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), jika mengacu pada PP no. 85 tahun 1999 tentang limbah B3. Setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu pengolahan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Pencemaran minyak bumi, meskipun dengan konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah sangat mempengaruhi bau dan rasa air tanah (Atalas dan Bartha 1997 dalam Nugroho, 2006).
Bioremediasi merupakan cara yang dianggap tepat dalam menangani limbah minyak bumi ini. Beberapa alasan bahwa bioremediasi tepat dan aman adalah:
Pada tanah tercemar minyak mumi terdapat bakteri indigenous
Bakteri indigenous mempunyai potensial tertentu (ex: degradasi hidrokarbon)
Kebutuhan C pada bakteri tersebut berasal dari degradasi hidrokarbon.
Dapat dikatakan hidrokarbon sebagai sumber C pada bakteri tersebut.
Bakteri indigenous dianggap bukan bakteri pathogen
Bioremediasi secara umum digolongkan menjasi 2 yaitu bioaugmentasi (penambahan/memasukkan bakteri potensial pendegradasi minyak bumi ke tanah tercemar) dan bioaugmentasi (penambahan nutrient ex: N, P, K ke dalam tanah tercemar minyak bumi). Pada dasarnya bioremediasi adalah menggunakan agen pendegradasi yaitu bakteri meskipun tidak menutup kemungkinan jenis kapang dan yeast juga dapat mempunyai potensial pendegradasi.
Mengapa menggunakan bakteri?
• Bakteri yang dugunakan adlah bakteri hidrokarbonoklastik
• Krakteristik mikroorganisme hidrokarbonoklastik yang tidak dimiliki oleh mikroorganisme lain adalah kemampuanya mengekskresikan enzim hidroksilase, yaitu enzim pengoksidasi hidrokarbon (Nugroho, 2006).
Mengapa menambahkan nutrient?
• Tercukupinya kebutuhan nutrisi untuk perkembangbiakan bakteri ini akan menambah jumlah bakteri tersebut.
• Pertambahan jumlah dari bakteri ini akan memaksimalkan proses degradasi hidrokarbon minyak bumi
• Dengan demikian penurunan konsentrasi hidrokarbon lebih optimal
Bioremediasi merupakan solusi efektif dalam usaha menurunkan kadar TPH tanah pada tanah tercemar minyak bumi. Terbukti dengan adanya hasil penurunan TPH pada tanah.
Labels:
limbah minyak bumi undang undang
Subscribe to:
Posts (Atom)