Friday 23 December 2011

uji deteksi bakteri potensial pada pupuk organik

A. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mendeteksi mikroba potensial (bakteri fiksasi nitrogen non simbiotik, bakteri pelarut phospat, dan dekomposer) pada pupuk granule.

B. Kajian Teori
1. Karakteristik Pupuk Organik
Berdasarkan komponen utama penyusunnya, pupuk dibedakan atas pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yaitu pupuk yang bahan bakunya berasal dari sisa makhluk hidup yang telah mengalami proses pembusukan oleh mikroorganisme pengurai sehingga warna, rupa, tekstur, dan kadar airnya tidak serupa lagi dengan aslinya. Pupuk anorganik yaitu pupuk yang bahan bakunya berasal dari bahan mineral, senyawa kimia yang telah diubah menjadi proses produksi sehingga menjadi bentuk senyawa kimia yang dapat diserap tanaman.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik, berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair dan digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya. Nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik.
Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik adalah sebagai berikut :
a. Kandungan hara rendah
Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tapi bervariasi tergantung pada jenis bahan dasarnya.
b. Ketersediaan unsur hara lambat
Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikrobia tanah kemudian dialihrupakan dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman.
c. Menyediakan hara dalam jumlah terbatas
Penyediaan hara yang berasal dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak dapat memenuhi asupan hara yang dibutuhkan tanaman. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbahkota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar misalnya sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan hasil pengomposan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian contohnya seperti limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas. Dalam penelitian ini, pupuk organik yang dimaksud adalah pupuk organik yang sumber organiknya berasal dari pengomposan kotoran hewan, jerami dan bahan lainnya.
2. Bahan-Bahan Penyusun Pupuk organik
Menurut Isroi (2009), bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan pupuk organik adalah sebagai berikut :
a. Bahan Organik
1) Kompos
Kompos sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pupuk organik. Kompos adalah bahan organik padat yang telah mengalami dekomposisi parsial. Bahan baku kompos adalah bahan organik padat, seperti sampah organik, serasah, sisa daun, jerami dan lain-lain. Bahan organik yang telah matang dalam proses pengomposan mempunyai rasio C/N yang cukup rendah atau kurang dari 25.
2) Pupuk kandang
Pupuk kandang juga termasuk jenis kompos, tetapi berbahan baku kotoran hewan. Pupuk kandang bisa dibuat dari kotoran ternak (sapi, kambing, kerbau, unggas atau kotoran manusia). Kotoran ternak ayam, sapi, kerbau, dan kambing mempunyai komposisi hara yang bervariasi. Secara umum, kandungan hara kotoran ternak lebih rendah daripada pupuk kimia sehingga takaran aplikasinya lebih besar.
3) Gambut
Gambut mirip dengan kompos, namun proses dekomposisinya belum sempurna. Gambut tidak dijadikan sebagai bahan baku utama pupuk organik. Umumnya gambut digunakan sebagai bahan baku organik tambahan untuk pupuk organik
b. Perekat
Perekat berfungsi untuk merekatkan pupuk organik agar pencampuran bahan sempurna dan menghasilkan tekstur pupuk yang padat. Beberapa bahan yang biasa digunakan sebagai perekat antara lain adalah molase, tepung tapioka, kalsium, bentonit, kaoline dan lain sebagainya. Perekat ditambahkan dalam jumlah sedikit (kurang dari 10 %).
c. Bahan Aditif (Bahan Tambahan)
Bahan aditif adalah semua bahan yang dapat ditambahkan saat melaksanakan proses pengomposan dengan tujuan memperbaiki struktur kompos dalam timbunan. Bahan-bahan aditif yang umumnya digunakan adalah:


1) Fosfat alam
Fosfat Alam ditambahkan untuk meningkatkan P didalam pupuk organik.
2) Dolomit
Penambahan dolomit digunakan untuk meningkatkan kandungan Magnesium (Mg) dalam pupuk organik.
3) Kapur Pertanian (kaptan)
Kaptan adalah kapur yang biasa digunakan dalam budidaya pertanian untuk meningkatkan pH tanah, khususnya di tanah-tanah yang bereaksi masam. Dalam pembuatan pupuk organik, kaptan juga berfungsi untuk meningkatkan pH pupuk karena bahan-bahan dalam pupuk organik bereaksi masam.
4) Zeolit
Zeolit memiliki pengaruh yang baik untuk tanah, yaitu dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah. Peningkatan kapasitas tukar kation tanah akan meningkatkan efiensi penyerapan hara oleh tanaman.
5) Abu atau arang sekam
Abu atau arang sekam memiliki kandungan K2O yang cukup tinggi yaitu kurang lebih 30 persen. Penambahan abu atau arang sekam digunakan untuk meningkatkan kandungan hara K.
Menurut Sutanto (2002), keberhasilan proses pengomposan dalam pembuatan pupuk organik sangat tergantung pada kesesuaian komposisi bahan. Perlakuan yang paling tepat terhadap bahan dasar untuk berlangsungnya proses dekomposisi sangat tergantung pada karakteristik limbah organik yang digunakan.
3. Standar Kualitas Pupuk organik
Mutu atau kualitas adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajad keunggulan suatu produk. Menurut Sutanto (2002) spesifikasi dari pupuk organik yang berkualitas baik adalah :


a) Kandungan total bahan organik minimal 20 persen
b) Kandungan lengas tidak boleh melampaui 15 persen hingga 25 persen. Pada kenyataannya makin rendah kandungan air, maka kualitas pupuk organik menjadi lebih baik.
c) Nisbah C/N dari bahan organik antara 10/1 sampai 15/1
d) Memiliki pH 6,5 hingga 7,5

Sedangkan standarisasi atas pupuk organik yang telah ditetapkan oleh Deptan diuraikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik di Indonesia

C. Jenis sampel
1. Pupuk organik
Sampel pupuk organik diambil dari pupuk organik granule
D. Pengambilan data
1. Bakteri fiksasi N (non-simbiotik)
a. Metode MPN
b. Media Nfb (semi solid)
2. Bakteri pelarut phospat (P)
a. Metode pour plate
b. Media pikonvkaya (bakteri dan kapang dapat tumbuh)
3. Dekomposer
a. Metode pour plate
b. Media CMC
E. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Bahan
• alkohol,
• tanah
• media NFB
• media pikovkaya
• media CMC (1 g CMC ((Carboxymethyl cellulose); 0,02 g MgSO4.7H2O; 0,075 g KNO3; 0,05 g K2HPO4; 0,002 g FeSO4.7H2O; 0,004 g CaCl2.2H2O; 0,2 g ekstrak kamir, 1,5 g agar-agar bakto, dan 0,1 g glukosa).
2. Alat
• bunsen
• pipet
• rotary shaker
• cawan petri
• tabung reaksi
• timbangan
• korek api
F. Prosedur kerja:
1. Isolasi bakteri fiksasi nitrogen
a. Persiapan media Nitrogen Fixing Bacteria (NFB)
Menimbang semua bahan yang terdiri dari Asam malat 5 g, KOH 4 g, K2HPO4 0.5 g, FeSO4 0.05 g, MnSO4 0.01 g, MgSO4 0.01 g NaCl 0.02 g, N2MoO2 0.01 g, Bromo Thymol Blue 4 ml. Menimbang dengan menggunakan timbang analitik. Setelah semua bahan ditimbang, memasukkan semua bahan ke dalam tabung Erlenmeyer lalu dilarutkan dengan aquades steril dan dipanaskan dengan kompor listrik sampai mendidih (Saraswati, 2008).
b. Penghitungan MPN (Most Probable Number) Bakteri Fiksasi Nitrogen
a) Analisis bakteri fiksasi nitrogen dengan menggunakan medium semi solid Nitrogen Fixing Bacteria (NFB) dalam wadah berupa tabung reaksi, yang berjumlah 15 tabung yang dibagi menjadi 3 seri tabung setiap seri tabung terdiri atas 5 tabung.
b) Perhitungan di lakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang mengalami perubahan pada media dengan terbentuknya pelikel-pelikel putih pada media semi solid Nitrogen Fixing Bacteria (NFB).
c) Tanah sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam 225 ml aquades steril sebagai pengenceran 10-1, kemudian di shaker selama 5 menit.
d) Kemudian dilakukan pengenceran sekali lagi diambil 10 ml sampel dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquades steril sebagai tahap pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran sampai 10-3.
e) Pengujian ini menggunakan 5 seri tabung yang terdiri dari 15 tabung reaksi yang berisi media semi solid NFB (Nitrogen Fixing Bacteria) yang kemudian diberi label untuk masing-masing pengenceran masing- masing seri tabung terdiri dari 5 tabung.
f) Tiga seri tabung ini diberi media NFB (Nitrogen Fixing Bacteria) sebanyak 5 ml.
g) Kemudian tiap-tiap tabung pada kelompok pertama ditambahkan 5 ml sampel dari pengenceran 10-3. Seri ke dua tabung, masing-masing tabung di tambahkan 1ml sampel. Kelompok ketiga di tambahkan sampel 0,1ml
h) Sampel dipindah secara aseptik menggunakan pipet ukur, dengan cara menyuntikan secara langsung semua ke dalam dasar tabung.
i) Selanjutnya semua tabung reaksi di inkubasi pada suhu kamar 370 C.
j) Uji positif akan terbentuk pelikel-pelikel berwarna putih berbentuk cincin.
k) Selanjutnya tabung positif dicocokan dengan tabel MPN
2. Isolasi bakteri pelarut fosfat
a. Tanah sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam 225 ml aquades steril sebagai pengenceran 10-1, kemudian di shaker selama 5 menit.
b. Kemudian dilakukan pengenceran sekali lagi diambil 10 ml sampel dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquades steril sebagai tahap pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran sampai 10-3.
c. Dari seri pengenceran terakhir kemudian diambil 1 ml, dituangkan ke dalam cawan petri.
d. Dimasukkan medium pikovkaya, kemudian diaduk rata membentuk angka 8 untuk menghomogenkan suspensi bakteri dengan medium.
e. Disimpan pada suhu ruang, dan diamati pertumbuhan bakteri pelarut fosfat dengan membentuk zona bening selama 48 jam.
3. Isolasi bakteri dekomposer
a. Tanah sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam 225 ml aquades steril sebagai pengenceran 10-1, kemudian di shaker selama 5 menit.
b. Kemudian dilakukan pengenceran sekali lagi diambil 10 ml sampel dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquades steril sebagai tahap pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran sampai 10-3.
c. Dari seri pengenceran terakhir kemudian diambil 1 ml, dituangkan ke dalam cawan petri.
d. Dimasukkan medium CMC, kemudian diaduk rata membentuk angka 8 untuk menghomogenkan suspensi bakteri dengan medium.
e. Disimpan pada suhu ruang, dan diamati pertumbuhan bakteri dekomposer dengan membentuk zona bening selama 48 jam.






G. Hasil pengamatan
Uji skrening Jumlah bakteri Keterangan
(Indikator)

Fiksasi Nitrogen 30 x 10-3/g Terbentun cincin putih
Bakteri pelarut Phospat 3 cfu/ml Ada zona bening
Dekomposer ttd Tidak ada zona bening
*Jumlah tabung yang positif membentuk pelikel putih, 2 tabung pada konsentrasi 5 ml, 2 tabung pada konsentrasi 1 ml, dan 1 tabung pada konsentrasi 0,1 ml sampel
**ttd: tidak ada bakteri dekomposer yang muncul

H. Pembahasan
Pada deteksi bakteri fiksasi nitrogen didapatkan hasil positif 2-2-1 dengan nilai MPN 28x10-3/g. Dapat dikatakan positif karena pada media NFB menujukkan terbentuknya cincin perikel pada bagian atas NFB. Selain ciri-ciri tersebut ada ciri-ciri lain yang dapat digunakan sebagai indikator adanaya bakteri fiksasi nitrogen pada media NFB yaitu dengan terbentuknya warna biru pada media, namun pada praktikum ini tidak menunjukkan hal itu.
Pada bakteri fiksasi nitrogen terdapat beberapa factor–factor yang mempengaruhi proses fiksasi nitrogen adalah sumber N, populasi bakteri nitrifikasi, keberadaan O2, kelembaban, dan suhu.
Pada tanah Jumlah NH4+ di dalam tanah lebih banyak digunakan organisme yang mengikat N2 dibanding bentuk – bentuk lain. Ada tiga hal penting dalam proses nitrifikasi yaitu; reaksi ini membutuhkan oksigen, maka dari itu perlu kondisi aerob; reaksi ini membebaskan H+ yang merupakan penyebab terjadinya pengasaman dan; kecepatan fiksasi dipengaruhi oleh lingkungan.
pada uji bakteri pelarut fosfat, uji terhadap pupuk menunjukan positif. Dapat dikatakan positif karena pada media yang digunakan (pikovskaya) terdapat/ tumbuh koloni dengan zona bening di sekitarnya (koloni bakteri pelarut fosfat (BPF)). Daerah/zona bening di sekitar koloni isolat BPF, merupakan tanda dari adanya aktivitas BPF dalam melarutkan P terikat. Hal tersebut terjadi karena adanya pelarutan Ca3(PO4)2. Jenis BPF mempunyai efektivitas berbeda dalam melarutkan P terikat yang ada di dalam media Pikovskaya padat, seperti dikemukakan oleh Rachmiati (1995), bahwa luas daerah bening tersebut secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan BPF melarutkan P dari fosfat tak larut.
Menurut Rao (1982) semakin meningkatnya pelarutan fosfat maka pH semakin menurun, hal ini disebabkan adanya proses pembebasan BPF oleh sejumlah asam-asam organik seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikooksalat, malat, fumarat, tartarat, dan asam alpha ketobutirat yang berakibat pada terjadinya pelarutan Ca-fosfat.
Latupapua dan Widawati (2001) mengatakan bahwa pelarutan P oleh BPF dari batuan fosfat rata-rata nilainya lebih kecil dibandingkan dengan pelarutan P dari Ca3(PO4)2. Hal ini membuktikan bahwa pelarutan P alam/rock fosfat membutuhkan waktu lebih lama dari P kimia, akan tetapi lebih ramah terhadap lingkungan.
Mikroba (jamur dan bakteri) berfungsi sebagai dekomposer (pengurai). Tumbuhan maupun hewan akan diuraikan oleh dekompopser menjadi unsur-unsur yang lebih mikro. Tanpa adanya mikroba dekomposer, bumi kita ini akan dipenuhi oleh bangkai dalam jumlah banyak. Mikroba dekomposer inilah yang digunakan untuk pengolahan sampah/limbah. Proses ini sangat penting didalam suatu ekosistem, apabila tidak ada dekomposer maka tanaman tidak akan mendapat nutrisi dan sisa-sisa material akan menumpuk. Bahan organik yang terdekomposisi akan menjadi bagian dari tanah dan menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pada mutu pupuk organik salah satu yang menjadi persyaratan mutu adalah keberadaan dari mikroba dekomposer. Namun pada uji yang dilakukan terhadap pupuk organik granul ini tidak terdapat mikroba dekomposer. dari tinjauan tidak terdapatnya mikroba pada pupuk organik ini maka kualitas pupuk dapat dikatakan kurang baik. peran dari bakteri dekomposer ini adalah sangat penting. selain berperan dalam penguraian bahan organik pada pupuk organik itu sendiri, mikroba dekomposer juga berperan penting dalam penguraian bahan organik di alam. keberadaan bakteri dekomposer.
Di alam mikroba dekomposer terdiri dari bakteri dan fungi selain fauna tanah. mikroba ini mempunyai ciri spesifik yang membedakan dengan mikroba lain yaitu dapat menghasilkan enzim tertentu yang berfungsi sebagi penguraian bahana organik seperti sisa tanaman. Enzim itu salah satunya adalah enzim selulase. Agen dekomposisi ini membantu proses pelapukan dan penguraian bahan organik secara biologis maupun kimia. Pada pupuk organik perlu adanya bakteri dekomposer agar penambahan pupuk pada tanah dapat menyupali populasi mikroba dekomposer pada tanah.

Daftar Pustaka
Latupapua, H.J.D. dan S. Widawati, 2001. Pupuk organik dan hayati sebagai agen pertumbuhan anakan kaliandra (Calliandra sp) pada tanah masam. Jurnal Biologi Indonesia 3 (1): 50-61.

Rao, N.S.S.1994. Mikroorganisma Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit UI.

Rachmiati, Y. 1995. Bakteri pelarut fosfat dari rizosfer tanaman dan kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Prosiding Kongres Nasional VI HITI

Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul. Sebuah Petunjuk Praktis.
http://isroi.wordpress.com. [2 Juli 2009]

Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Alternatif dan Berkelanjutan.
Yogyakarta : Kansisius

Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan
Pengembangannya. Yogyakarta : Kanisius

Zulfah Syahra, 2010. Analisis kelayakan usaha pupuk organik Kelompok tani bhineka i, desa blendung, Kabupaten subang. SKRIPSI Departemen agribisnis fakultas ekonomi dan manajemen institut pertanian bogor bogor

Saturday 3 December 2011

Poliomielitis


Pengertian
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).
Menurut WHO Polio adalah penyakit yang sangat menular dan dapat menyebabkan kelumpuhan total dalam hitungan jam.. Satu dari 200 infeksi menyebabkan kelumpuhan ireversibel (biasanya di kaki). Di antara mereka lumpuh, 5% sampai 10% meninggal ketika otot pernapasan mereka menjadi bergerak.
Polio virus (genus enterovirus) tipe 1, 2,dan 3 semua tipe dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat di isolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih jarang, demikian pula tipe 3 paling jarang. Tipe 1 paling sering menyebabkan wabah. Sebagian besar kasus vaccine assosiated disebabkan oleh tipe 2 dan 3.
Sifat virus polio seperti halnya virus yang lainya yaitu stabil terhadap pH asam selam 1-3 jam. tidak aktif pada suhu 560 C selama 30 menit. Virus polio Berkembang biak dalam sel yanng terinfeksi dan siklus yang sempurna berlangsung selama 6 jam. virus polio dapat hidup diar dan manusia, selain itu juga terdapat pada sampah dan lalat (Arifah, 1998 dalam Rachmawati, 2008).

Gejala
Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas. Menurut WHO Gejala awal adalah demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan pada leher dan nyeri pada tungkai
Sebagian besar (90%) infeksi virus polio menyebabkan inapparent infection, sedangkan 5% menampilkan gejala abortive infection, 1% Nonparalytic, dan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik.
Bagi penderita dengan tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukkan kelumpuhan ringan, 30% menunjukkan kelumpuhan berat, dan 10% menunjukkan gejala berat serta bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi biasanya 3-35 hari.
Penderita sebelum ditemukannya vaksin terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin, usia penderita bergeser pada kelompok anak usia di atas 5 tahun.
Pada penderita Polio dapat di bedakan menjadi 2 stadium yaitu
1.      Stadium akut
Sejak ada gejala klinis hingga dua minggu, ditandai dengan suhu tubuh meningkat, jarang terjadi lebih dari 10 hari, kadang disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan terjadi dalam seminggu permulaan sakit. Kelumpuhan itu terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di medula spinalis (tulang belakang) oleh invasi virus.
Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris sehingga menimbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian besar kelumpuhan terjadi pada tungkai (78,6%), sedangkan 41,4% akan mengenai lengan. Kelumpuhan itu berjalan bertahap dan memakan waktu dua hari hingga dua bulan.
2.      Stadium sub-akut
Selama (dua minggu hingga dua bulan) ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlau tinggi. Kadang, itu disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya salah satu sisi.
Stadium konvalescent (dua bulan hingga dua tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot lemah. Sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Kemudian setelah usia dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. Stadium kronik atau dua tahun lebih sejak gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot permanen.

Monday 26 September 2011

Mekanisme Biodegradasi Hidrokarbon


Mekanisme Biodegradasi Hidrokarbon
Oleh: Prasetyo handrianto, S.Si.
Email: Prasetyohandrianto@gmail.com

Secara umum biodegradasi atau penguraian bahan (senyawa) organik oleh mikroorganisme dapat terjadi bila terjadi transformasi struktur sehingga terjadi perubahan integritas malekuler. Proses ini berupa rangkaian reaksi kimia enzimatik atau biokimia yang mutlak memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme (Shechan dalam Nugroho, 2006).
Senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi merupakan sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga senyawa tersebut dapat didegradasi dengan baik (Nugroho, 2006).
Di dalam minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme (Hadi, 2003).
Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan pengoksidasi alkana normal (Hadi, 2003).
Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bekteri pendegradasi komponen ini berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah didegradasi (Hadi, 2003).
1.      Jenis Hidrokarbon yang Didegradasi Mikroba (Hadi, 2003).
a.       Hidrokarbon Alifatik
Mikroorganisme pedegradasi hidrokarbon rantai lurus dalam minyak bumi ini jumlahnya relatif kecil dibanding mikroba pendegradasi hidrokarbon aromatik. Di antaranya adalah Nocardia, Pseudomonas, Mycobacterium, khamir tertentu, dan jamur. Mikroorganisme ini menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi oleh mikroba (sebagai pengecualian adalah bakteri pereduksi sulfat).
mhtml:file://G:\net%2024,feb%202010\Degradasi%20Minyak%20Bumi%20via%20Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh mikroorganisme meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.








Gambar 2.1. Reaksi degradasi hidrokarbon alifatik
(Sumber: Hadi, 2003)
b.      Hidrokarbon Aromatik
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh mikroorganisme seperti bakteri dari genus Pseudomonas. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat. Gambar 2 menunjukkan reaksi perubahan senyawa benzena menjadi catechol.



mhtml:file://G:\net%2024,feb%202010\Degradasi%20Minyak%20Bumi%20via%20



Gambar 2.2 Reaksi degradasi hidrokarbon aromatic
(Sumber: Hadi, 2003)

2.      Faktor Pembatas Biodegradasi
Kemampuan sel mikroorganisme untuk melanjutkan pertumbuhannya sampai minyak bumi didegradasi secara sempurna bergantung pada suplai oksigen yang mencukupi dan nitrogen sebagai sumber nutrien. Seorang ilmuwan bernama Dr. D. R. Boone menemukan bahwa nitrogen tetap merupakan nutrien yang paling penting untuk degradasi bahan bakar. Selain itu keaktifan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti temperatur dan pH. Kondisi lingkungan yang tidak sesuai menyebabkan mikroba ini tidak aktif bekerja mendegradasi minyak bumi. Sebagai contoh, penambahan nutrien anorganik seperti fosfor dan nitrogen untuk area tumpahan minyak meningkatkan kecepatan bioremediasi secara signifikan.
 PUSTAKA
     Nugroho, A. 2003. Bioremidiasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Jakarta: Bumi Aksara
     Hadi, S N. 2003. Degradasi Minyak Bumi via “Tangan” Mikroorganisme.